- CANDI IJO
Candi
ijo terletak di Dukuh Groyokan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten
Sleman, Yogyakarta. Pemberian nama lokasi candi ialah berdasarkan letak candi
yang ditemukan di perbukitan Ijo. Sebutan ijo ialah berarti hijau yang
pertama kalinya ada dalam prasasti Poh yang berasal dari tahun 906 Masehi.
Disebutkan bahwa dalam prasasti tersebut ada seseorang yang berasal dari desa
ijo yang menghadiri upacara keagamaan. Bunyinya sebagai berikut: “Anak wanua i Luang hijo i “. Candi berlatar agam hindu ini
diperkirakan dibangun antara abad ke-10 sampai dengan ke-11.
b.
LOKASI
Candi ini
berada di lereng barat sebuah bukit yang jauh dari keramaian di kawasan barat Yogyakarta,
di selatan situs ratu baka. Dataran kompleks candi ini luasnya sekitar 0,8
hektar, namun diperkirakan sesungguhnya kompleks candi ijo jauh lebih luas dari
lahan yang sudah dibebaskan oleh pemerintah tersebut. Dugaan itu didasarkan
pada kenyataan bahwa ketika lereng bukit candi ijo di sebelah timur dan utara
ditambang oleh penduduk, masih banyak ditemukan artefak yang mempunyai kaitan
dengan candi. Untuk mencapai candi ini, pengunjung dapat menggunakan kendaraan
berupa motor atau mobil. Akses dari kota Yogyakarta juga cukup mudah, apabila
dari pusat kota ambil jalan ke timur arah Jalan solo kemudian lurus terus
sampai pertigaan Candi Prambanan. Lalu belok kanan menuju arah Piyungan, lurus
saja kemudian ambil jalan menuju Dukuh Groyokan, Desa Sambirejo. Jalan menuju
Candi Ijo cukup menanjak, pastikan kendaraan anda pada kondisi prima jika ingin
berkunjung ke candi ini.
c. ARSITEKTUR
Kompleks candi ijo terdiri dari
beberapa kelompok candi induk, candi pengapit, dan candi perwara. Candi induk
menghadap ke barat, dihadapannya berjajar 3 candi yang lebih kecil ukurannya
yang diduga dibangun untuk memuja brahma, wisnu, dan syiwa. Bangunan candi
induk berdiri di atas kaki candi yang berdenah dasar persegi empat. Pintu masuk
ke ruang dalam tubuh candi terletak di pertengahan dinding sisi barat, diapit 2
buah jendela palsu. Di atas ambang pintu terdapat hiasan kepala kala bersusun.
Sebagaimana yang terdapat di candi-candi lai di jawa tengah dan yogyakarta,
kedua kepala kala tersebut tidak dilengkapi dengan rahang bawah. Di atas ambang
jendela palsu juga dihiasi dengan pahatan kepala kala bersusun. Ambang pintu
dibingkai dengan tubuh sepasang naga yang menjulur ke bawah dengan kepala
membelakangi ambang pintu dan mulut yang menganga lebar. Di dalam mulut
masing-masing naga terdapat burung kakatua kecil. Jendela-jendela palsu ada di
bagian luar dinding utara, timur, selatan, yaitu 3 buah pada masing-masing
sisi. Ambang jendela juga dibingkai denga hiasan sepasang naga dan kepala kala
seperti yang terdapat di jendela palsu yang mengapit pintu. Untuk mencapai
pintu yang terletak sekitar 120 cm dari permukaan tanah dibuat tangga yang dilengkapi
dengan pipi tangga berbentuk sepasang makara. Kepala makara menjulur ke bawah
dengan mulut menganga. Kompleks Candi Ijo adalah kompleks percandian yang
berteras-teras dan semakin meninggi pada sisi Timur dengan bagian pusat candi.
Pola candi semacam ini berbeda dengan pola-pola candi yang ada di dataran prambanan.
Kebanyakan kompleks percandian memusat ke tengah misalnya candi Prambanan atau
juga candi Sewu. Hal ini didasari oleh konsep penataan ruang yang bersifat
kosmis dengan pusat berupa puncak gunung sebagai tempat tinggal para Dewa.
d. TIKET
Untuk
memasuki Candi Ijo saat ini belum dikenakan biaya masuk, pengunjung hanya perlu
mengisi buku tamu di pos penjagaan candi. Selain itu, pengunjung hanya dikenai
biaya untuk parkir kendaraan (motor Rp 2.000,- & mobil Rp 5.000,-) . Lokasi
parkir kendaraan di Candi Ijo berada di sebelah selatan candi.
e. SUMBER
2. CANDI BARONG
a. SEJARAH
Candi barong merupakan candi
peninggalan agama Hindu yang terletak di Dusun Candisari, Bokoharjo, Prambanan.
Disebut Candi Barong karena terdapat hiasan kala di relung tubuh candi yang
tampak seperti Barong. Keberadaan Candi Barong yang juga bernama Candi Sari
Suragedug disebutkan dalam Prasasti Ratu Baka (856 M) dalam bahasa Sansekerta
dan ditulis menggunakan huruf Jawa kuno. Dalam prasasti tersebut diceritakan
tentang seorang raja bernama Sri Kumbaja atau Sri Kalasodbhava yang membangun
tiga 'lingga', yaitu Krttiwasalingga dengan pendamping Dewi Sri,
Triyarbakalingga dengan pendamping Dewi Suralaksmi, dan Haralingga dengan
pendamping Dewi Mahalaksmi. Diperkirakan bangunan yang dimaksud adalah Candi
Barong. Dalam Prasasti Pereng (863 M), yang juga ditulis dalam bahasa
Sansekerta dengan menggunakan huruf Jawa kuno, disebutkan bahwa pada tahun 784
Saka (860 M) Rakai Walaing Pu Kumbhayoni menganugerahkan sawah dan dua bukit di
Tamwahurang untuk keperluan pemeliharaan bangunan suci Syiwa bernama
Bhadraloka. Para ahli berpendapat bahwa Sri Kumbaja atau Sri Kalasodbhava
adalah Pu Kumbhayani dan bangunan Syiwa yang dimaksud adalah Candi Barong.
b. LOKASI
Candi Barong berada di atas Bukit Batur Agung, di
tenggara Keraton Ratu Boko. Tepatnya berada di Dusun Candisari, Bokoharjo, Prambanan, Sleman. Untuk
mencapai candi ini, pengunjung dapat menggunakan kendaraan berupa motor atau
mobil. Tetapi pengunjung lebih disarankan untuk memakai motor karena lebih
fleksibel untuk dapat mencapai candi. Akses dari kota Yogyakarta juga cukup
mudah, apabila dari pusat kota ambil jalan ke timur arah Jalan solo kemudian
lurus terus sampai pertigaan Candi Prambanan. Lalu belok kanan menuju arah
Piyungan, lurus saja kemudian ambil jalan menuju Dusun Candisari, Bokoharjo
atau restoran Abhayagiri. Ikuti jalan sampai menemukan petunjuk jalan arah
Candi Barong, kemudin belok kiri dan ikuti jalan sampai Candi Barong.
c. ARSITEKTUR
Berbeda dengan candi-candi lainnya di
Jawa Tengah, Candi Barong merupakan bangunan punden berundak, yaitu model
bangunan suci pada masa prahindu. Candi ini terdiri atas teras bersusun tiga,
makin ke atas main sempit. Luas teras pertama adalah 90 x 63 m2 , sedangkan teras kedua
adalah 50 x 50 m2 .
Dilihat dari letak tangga naik dari teras ke terasnya, candi Hindu ini
menghadap ke barat. Di pertengahan sisi barat terdapat tangga naik dari teras
pertama ke teras kedua setinggi sekitar 4 m dengan lebar 3 m. Teras ketiga, yang berukuran 25 x 38 m2, terletak 5 m dari permukaan teras kedua, dan dapat
dicapai melalui tangga selebar 3,2 m. Tangga tersebut dilengkapi dengan pipi
tangga di kiri-kanannya. Di pangkal tangga terdapat hiasan menyerupai 'ukel'
yang sudah tidak jelas bentuknya. Di kiri dan kanan dinding pipi tangga
terdapat hiasan berupa daun kalpataru yang sebagian sudah rusak. Di puncak
tangga terdapat gerbang beratap (gapura paduraksa) menuju ke pelataran teras
ketiga. Di atas ambang gapura terdapat hiasan Kalamakara. Dinding teras diberi
penguat berupa susunan balok batu andesit yang diperhalus dengan lapisan batu
putih di permukaannya. Dinding teras candi, dari teras terbawah sampai yang
teratas, terlihat polos tanpa hiasan. Mendekati ujung selatan dinding barat
teras ketiga terdapat ceruk yang belum jelas fungsinya. Pelataran teras
teratas, yang dianggap sebagai tempat yang tersuci terdapat dua bangunan
berjajar arah utara-selatan, masing-masing mempunyai luas dasar 8 x 8 m2.
Bangunan pertama terletak di ujung selatan, sedangkan yang kedua terletak di
tengah pelataran, tepat berhadapan dengan tangga. Kedua bangunan yang ada tidak
mempunyai mempunyai pintu masuk ke tubuh candi, karena tidak terdapat ruangan
di dalamnya. Pada keempat sisi masing-masing bangunan terdapat relung tempat
menaruh arca. Di atas ambang relung terdapat hiasan kalamakara lengkap dengan
rahang bawah yang sangat sederhana pahatannya. Tidak terdapat hiasan relief
pada dinding dan kaki bangunan, hanya ada pahatan berpola dedaunan dan sosok
manusia yang sederhana. Atap candi bersusun dengan puncak runcing. Pelipit atap
berpola bunga dan kumuda.
d. TIKET
Untuk memasuki Candi Barong saat ini
belum dikenakan biaya masuk, pengunjung hanya perlu mengisi buku tamu di pos
penjagaan candi. Selain itu, pengunjung hanya dikenai biaya untuk parkir
kendaraan (motor Rp 2.000,- & mobil Rp 5.000,-) . Lokasi parkir kendaraan
di Candi Barong berada di sebelah utara candi.
e. SUMBER
https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/candi/barong
http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-yogyakarta-candi_barong
http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-yogyakarta-candi_barong
3. BEKAKAK
a. SEJARAH
Sekitar tahun 1755 Sri Sultan Hamengku Buwono I yang pada masa itu masih
bergelar Pangeran Mangkubumi sedang membangun Keraton yang saat ini berada di
kotamadya, sambil mengawasi pembangunan keraton, Pangeran Mangkubumi tinggal di
pesanggrahan yang berada di Ambarketawang bersama abdinya yang setia yakni Kyai
Wirasuta yang disebut juga dhalem kinasih yang artinya abdi yang dikasihi.
Daerah gunung Gamping sendiri adalah pegunungan batu kapur yang dimanfaatkan
masyarakat sekitar sebagai mata pencaharian pengumpul batu kapur. Setelah pembangunan keraton selesai, Pangeran
Mangkubumi beserta abdi dhalem hendak kembali ke keraton, namun Kyai Wirasuta
beserta istrinya memilih tetap tinggal di pesanggarahan tersebut. Akhirnya
Pangeran Mangkubumi pun pindah ke keraton dan bergelar Sri Sultan Hamengku
Buwono I. Malapetaka tak diduga terjadi,
pada hari Jumat Kliwon di bulan Sapar, Gunung Gamping tempat tinggal sang abdi
dhalem kinasih runtuh dan menewaskan kedua abdi dhalem tersebut. Kabar
runtuhnya Gunung Gamping sampai ke telinga Sri Sultan yang kemudian
memerintahkan para prajuritnya menggali reruntuhan dan mencari jasad abdi
dhalemnya. Namun keanehan terjadi, ketika seluruh longsoran berhasil di
singkirkan, jasad kedua abdi dhalem tak ditemukan. Masyarakat setempat meyakini
Kyai dan Nyai Wirasuta muksa atau menghilang dan masih menempati Gunung Gamping
hingga saat ini. Seiring berjalannya
waktu, masyarakat Ambarketawang diresahkan dengan terjadinya musibah yang
serupa setiap bulan Sapar dimana para pekerja tertimbun runtuhan gunung.
Menanggapi keresahan masyarkat, Sri Sultan menitahkan untuk mengadakan upacara
ritual setiap bulan Sapar dengan menyembelih sepasang pengantin Bekakak di
pesanggrahan Gunung Gamping untuk menolak bala dan menjauhkan masyarakat dari
musibah. Sepasang pengantin Bekakak ini
terbuat dari tepung ketan yang dibuat menyerupai manusia dan didandani seperti
pengantin lengkap dengan sesaji yang ditempatkan pada sebuah keranda yang
dihiasi berbagai macam bunga maupun dedaunan. Didalam sepasang pengantin
Bekakak berisi air gula jawa atau juruh yang diumpamakan darah, sehingga ketika
pengantin Bekakak di sembelih, seolah-olah mengeluarkan darah.
b. LOKASI
Bekakak merupakan upacara adat yang berasal dari wilayah Ambarketawang, Gamping,
Sleman, Yogyakarta. Jika ingin datang ke daerah
Ambarketawang untuk melihat upacara Bekakak, pengunjung dapat menggunakan
kendaraan berupa motor atau mobil. Akses dari kota Yogyakarta juga cukup mudah,
apabila dari pusat kota ambil jalan ke Barat menuju Jalan Wates. Apabila sudah
sampai Pasar Gamping, lihat petunjuk Jalan menuju daerah Ambarketawang. Upacara
adat ini biasanya dilakukan dengan mengelilingi wilayah Ambarketawang dan
berakhir di Pesanggrahan Gunung Gamping.
c. ISI
Ritual upacara Bekakak adalah
sebuah ritual budaya Jawa asli yang bertujuan mengenang kesetiaan salah satu
abdi dalem kesayangan Sri Sultan Hamengku Buwono I bernama Kyai Wirasuta dan
Nyai Wirasuta. Biasanya Saparan Bekakak ini dilakukan pada siang hingga sore
hari. Pembuatan boneka Bekakak dilakukan secara bergilir dari masing-masing
dusun. Sebelum dibawa ke pesanggrahan, Bekakak ini diarak mengelilingi wilayah
Ambarketawang disertai kirab budaya yang ikut meramaikan ritual adat tahunan
ini, diantaranya parade Bregodo atau barisan prajurit, kesenian Jathilan, Reog
Ponorogo, Gunungan yang berisi sayuran dan buah-buahan serta boneka Ogoh-ogoh
yang berukuran sangat besar menyerupai raksasa. Setelah dibawa berkeliling, boneka Bekakak dibawa ke pesanggrahan Gunung
Gamping. Disana satu persatu sang pengantin dikeluarkan dan disembelih oleh
pemerintah setempat. Sesudah upacara penyembelihan selesai, boneka bekakak
dibagikan kepada pengunjung. Dalam ritual
adat ini, pemerintah menghimbau masyarakat untuk tidak menyangkutkan dengan
kepercayaan atau agama apapun karena tujuan diadakannya acara Bekakak ini untuk
memelihara seni tradisi agar tak punah oleh zaman. Tujuan utama dari perayaan
ini adalah mengenang kesetiaan sang abdi dhalem yaitu Kyai dan Nyai Wirasuta.
Sekarang kawasan Gunung Gamping dijadikan
sebagai kawasan cagar alam, dimana gunung gamping yang dulunya sangat luas
sekarang hanya tersisa sebongkah bukit kecil. Lokasi ini dilindungi oleh Balai
Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta, karena batu gamping yang tersisa adalah
jenis batuan Eosin yang berusia lebih dari 50 juta tahun yang lalu.
d. SUMBER